The Devil’s Story : Kai’s
Scene
“The
Sharpest Memory”
Munich, Jerman
1440 jam setelah pelarian
Sebuah
truk trailer super besar terparkir manis di tengah sebuah lapangan kecil
berumput hijau, diantara petak-petak kebun apel. Kebun-kebun apel di kanan-kiri
lapangan kecil tersebut terlihat seperti kebun mainan di dekat trailer besar
itu. Banyak orang yang berkerumun di salah satu sisi truk. Kicauan burung Finn
khas pedesaan bagian selatan kota Munich ikut meramaikan gumam-gumam penuh
gairah dari orang-orang itu.
Seorang
pria tua bercelana baggy panjang bersepatu boots berjalan tergesa
menuju kerumunan orang di sekitar truk besar tersebut. Ia bertanya dengan nada
marah pada salah seorang wanita yang ikut menjejalkan diri dalam kerumunan itu.
“Ada apa ini? Kenapa ada truk besar yang sembarangan
parkir di tanahku?” tanya pria itu dalam bahasa Jerman.
Wanita
berambut putih itu terkikik pelan. “Ada pemuda-pemuda tampan yang sedang
memberikan pengobatan gratis.” Jawabnya seraya menunjuk pada seorang pemuda
berwajah ramah berambut putih, yang nampak sedang sibuk mendaftar antrian
panjang di depannya.
Pemuda
itu benar-benar sibuk. Berulang kali—setiap ada pasien wanita—ia harus memastikan
apa keluhan mereka, karena dokter eksentrik yang sedang praktek di ruangan
khusus di dalam bak trailer itu tidak akan segan mematahkan tangannya bila ia
sampai—tak sengaja—memasukkan pasien wanita dengan keluhan: penyakit cinta pada
pandangan pertama (setelah melihat wajah dokter yang akan memeriksanya ^^;).
“Maaf
nyonya, tapi dokter Kai tidak akan bisa mengobati penyakit Anda.” Katanya pada
seorang tante-tante yang memakai lipstik berlebih hingga bibirnya terlihat
seperti habis tersengat lebah.
Seta—nama
pemuda itu—sudah hapal gejala penyakit aneh yang hampir selalu menjangkiti
setiap pasien Kai—si dokter yang sedang praktek di dalam trailer. Kai sudah
memberikan catatan gejala penyakit itu supaya Seta tidak salah lagi:
1. Bila
kau tanya apa keluhannya ia pasti hanya akan terkikik-kikik tak wajar
2. Gerakan
mata tidak wajar
3. Senyum
tidak wajar
4. Dandanan
tidak wajar
5. Bicara
tidak wajar
6. Dan
seterusnya kau amati sendiri. Awas kalau sampai salah! (di akhir catatan ini
Kai menempelkan sebuah foto seorang pasien dengan tangan yang hancur).
“Nyonya
kau bilang?” kata tante itu seraya tersenyum tak wajar. “Panggil aku nona!”
Oke, tiga gejala langsung terlihat! Kata
Seta dalam hati. “Maaf, tapi dokter Kai
bilang… “
“Ah, aku tahu kau akan bilang begitu.” Kata tante
itu seraya mengedipkan matanya beberapa kali (Seta ingin menjerit ngeri). “Tadi
aku sudah mengamati… memangnya dokter tampan itu bisa langsung tahu kalau ada
orang yang berpura-pura sakit ya?” tanyanya seraya melihat ke arah jendela di
dinding trailer yang memperlihatkan sosok seorang pemuda jangkung berambut
perak yang sedang sibuk memeriksa pasiennya.
“Oh ya. Dia memang bisa langsung tahu. Makanya
nyo—eh, maksudku nona… kalau tidak sakit, sebaiknya... ”
“Oho ho ho ho! Kau pikir aku kemari hanya karena
tertarik pada dokter itu ya?” jawab tante itu. “Aku kan memang sengaja
berlama-lama di sini supaya bisa ngobrol denganmu!”
GYAAA!!! Seta langsung mundur dengan sangat cepat ke
balik trailer dan menyelinap masuk lewat pintu samping.
“He he he… taktik marketingku sukses besar
kan?” sambut sebuah suara dari balik pintu samping trailer. Seorang pemuda
lain, kurus, berkacamata kotak dan berambut merah menyala sedang duduk dengan
malas di sofa seraya mengelap gold magnumnya.
“Chaz!” sembur Seta. “Ini semua gara-gara kamu!”
katanya seraya menyambar sebuah selebaran yang tertempel di pintu dan
melemparkannya ke pemuda yang dipanggil Chaz tersebut.
“He he he… iklan yang bagus kan? Dengan memanfaatkan
wajah tampan kita bertiga—terutama wajahku ini—kita bisa menggaet banyak pasien
untuk ‘monster’ itu! Khu hu hu hu… income nih, income,
bakal untung besar deh kita!”
Wajah Seta langsung berubah serius. “Chaz, jaga
ucapanmu! Jangan kau sebut kata ‘monster’ untuk Kai. Dia itu dokter
jenius! Tanpa dia, iklan ‘pengobatan dokter terjenius’ yang kau sebar di
jalan-jalan itu juga tidak akan berguna kan?”
“Yaah, tapi biar sejenius apapun dia itu tetap ‘monster’
kan? Lihat saja sistem komputer itu,” Chaz menunjuk ke arah layar monitor di
ujung trailer yang biasanya dalam keadaan standby. Kali ini monitor itu
mati sama sekali.
“Dokter jenius itu kemarin ‘berbaik hati’ menggeser
CPU ke dekat airconditioner, tapi CPUnya langsung remuk begitu kena
sentuhan tangannya…” Chaz mendengus kesal. “Pokoknya dia harus kerja rodi untuk
mengganti seluruh kerusakan yang dia buat!”
Seta berkeringat. “Yaah, mungkin memang susah sih
ya, mengendalikan kekuatan tangan sebesar 12 ton… “
“Justru karena itu!” Chaz tiba-tiba bangkit dan
mengangguk ke arah kamar klinik Kai dalam bak trailer, yang hanya dibatasi sekat
kayu dari tempat Chaz dan Seta sekarang. “yang aku tidak mengerti, kalau dia
susah mengendalikan kekuatan tangannya, kok dia bisa dengan mudahnya melakukan
praktek dokter yang harus serba hati-hati itu?”
Tiba-tiba saat itu juga terdengar suara dari balik
sekat tempat klinik sementara Kai.
“GYAAAAA!!! Dokteeer! Kau merobekkan kulitkuuuu!”
“Jangan berisik! Nanti kutempelkan lagi! Hasilnya
akan lebih bagus dari kulitmu yang lama.” balas sebuah suara serak-dingin
dengan nada datar.
Seta dan Chaz berpandangan.
“Yah… “ Seta semakin berkeringat. “Mungkin karena…
‘yang barusan dikatakannya’ tadi… ”
Chaz memilih mengangguk daripada harus memikirkan
bagaimana menempelkan kulit yang sebelumnya robek menjadi lebih bagus, atau
bagaimana merangkaikan tangan yang remuk menjadi utuh kembali (sebagaimana yang
sering diancamkan Kai dengan menunjukkan foto-tangan-remuk—sepertinya Kai
memang memiliki koleksi foto-foto semacam ini).
“Tapi aku tidak akan pernah lupa dia itu apa…”
gumam Chaz, kacamatanya berkilat tajam.
Seta pun terlihat sangat serius.
♠ ♠ ♠
Sebuah sosok bayangan menyelinap diantara
pohon-pohon apel, mengamati keadaan di sekitar trailer besar yang masih ramai
pengunjung itu. Sosok itu memegang sebuah selebaran. Di dalamnya terdapat foto
tiga orang pemuda dengan beberapa baris tulisan besar.
Dokter
Kai
Pengobatan Dokter
Tampan Terjenius sepanjang abad!
Mengobati berbagai
macam penyakit!
Di lapangan kebun
Apel Desa Stutgart, Munich Selatan
NB:
melayani ‘after service’ (khusus pasien cewek)
(ini
tambahan yang dibuat sendiri oleh Chaz tanpa sepengetahuan Seta dan Kai)
“Huh!
Dokter Kai?” gumam sosok itu. “Sudah berhasil lari, bukannya mengganti
identitas kau malah memakai nama pemberian GenTech dan menyebar tampang
di mana-mana… Dasar bodoh!“
♠ ♠ ♠
Pemuda
jangkung berambut perak itu duduk sambil mencabuti rumput serta kuntum-kuntum
bunga yang ada di sampingnya dengan asal. Ia mengambil scalpel[1]
yang tergantung di kalungnya, mengulumnya, kemudian merebahkan tubuh
jangkungnya di atas hamparan rumput, memandangi langit kota Munich yang
terbentang di atasnya. Lalu ia mengangkat kedua tangannya, memandanginya lama
sekali.
Tiba-tiba
sepasang kaki terlihat mendekat ke arahnya. Kai melirik pemilik sepasang kaki
ramping itu dari sudut matanya dengan malas. Seorang gadis, bermata biru lembut
dengan rambut panjang terjulur menemani kedua sisi wajahnya. Namun wajah lembut
itu terlihat marah. Gadis itu berkacak pinggang dan menatap Kai dengan galak.
“Oh,
jadi kau dokter gadungan yang menipu orang-orang desa?!” semburnya.
Kai
hanya mendengus tanpa mengacuhkannya. Ia sudah menurunkan kedua tangannya,
menjadikannya bantal, dan kini kembali asyik memandangi langit sambil mengulum scalpelnya.
“Aduh,
Reiz… jangan galak-galak begitu dong… “ ujar sebuah suara, seorang nenek-nenek
terlihat berjalan mendekat ke arah mereka. “Begitu-begitu dia benar-benar
hebat. Kakek Hector tadi langsung sembuh sakit pinggangnya begitu berobat
padanya… “
“Nenek
Frizt nggak usah bela orang ini deh! Bagaimana mungkin Nenek mau berobat
ke orang asing yang nggak ada tampang dokternya sama sekali ini!” gadis itu
memandangi Kai (dengan kemejanya yang berantakan—dan hanya dikancingkan pada
bagian bawahnya saja—celana jeans lusuh, serta rambut yang acak-acakan) sambil
mengernyit. Sama sekali jauh dari profile seorang dokter (bayangkan
seorang pria berkacamata, bersisir rapi, berjas putih panjang dan selalu
membawa stetoskop kemana-mana—sambil tersenyum lagi!).
“Nenek
kan tidak tahu orang ini benar-benar seorang dokter atau bukan?!” sambung Reiz
sengit.
“Fuuuh…
“ dengus Kai seraya mengorek telinganya dengan bosan.
“Apaan
fuuh itu?!” Reiz menatap Kai semakin galak.
“Sudahlah,
Reiz…” Nenek Frizt sudah memegangi lengan gadis itu. “Sebenarnya kau marah
padanya karena kau baru saja memergokinya mencabuti rumput dan bunga-bunga di
padang rumput ini kan?”
Reiz
sudah membuka mulutnya untuk menyanggah, tapi kata-kata nenek Frizt sebenarnya
sangat tepat.
Nenek
Frizt kini menunduk memandang Kai dengan sopan. “Maaf, ya Dokter Kai. Anak ini
memang paling tidak suka ada orang yang mencabuti tumbuhan sembarangan.”
Reiz
membuang muka, kesal.
“Anuuu,
sampai kapan Dokter akan beristirahat? Setelah ini akan praktek lagi bukan?
Bagaimana kalau istirahatnya di rumah saya saja? Kebetulan saya membuat Apfelstrudel[2]
yang sangat enak. Anda mau mencicipinya?” tawar Nenek Frizt dengan sangat
sopan.
Kebiasaan
Kai, setiap kali mendengar apapun yang berbau ‘makanan’, dia pasti langsung
bereaksi. Segera saja Kai bangkit—dengan tampang datar dan masih mengulum scalpelnya.
Ia menggeliat sebentar, kemudian berdiri, dan untuk pertama kalinya memandang
Reiz dan si nenek dengan sungguh-sungguh. Sesaat, mata Reiz nampak membulat
begitu melihat sosok Kai yang berdiri.
“Aku
mau.” Jawab Kai dengan nada datar—dan tampang datar. “Nanti kau boleh periksa
gratis.”
“Ah,
benarkah!” Nenek Frizt terlihat sangat senang. Ia menoleh memandang Reiz, dan
saat itu juga Nenek Frizt terkejut. “Astaga, Reiz! Kau kenapa?”
Gadis
bermata lembut itu, menatap Kai seperti melihat hantu. Mata biru-beningnya
membulat, mulutnya ternganga, dan wajah halusnya terlihat sangat pucat. “Ti…
tidak mungkin… “ bisiknya tak percaya.
Kai
mengerutkan sebelah alisnya—dengan tanpa ekspresi. “Apa… ?”
“Reiz,
kau kenapa?” Nenek Frizt segera mendekati Reiz dengan cemas.
“Claude…
“ bisik Reiz dengan tak percaya.
“Siapa?”
Diluar
dugaan, mata Kai juga ikut membulat. Ia menatap Reiz. Lama keduanya hanya
saling menatap tanpa berkata-kata.
Nenek
Frizt terlihat kebingungan, bergantian memandang Kai, lalu Reiz. “Ka… kalian
kenapa? Apa kalian saling kenal?” Nenek Frizt memandang Kai, dan…seolah baru
menyadari sesuatu, ia memandang Reiz dengan sangat cepat. “Siapa yang kau sebut
tadi, Reiz? Claude? Maksudmu si kecil tuan muda Claude, dokter jenius terkecil
di dunia yang dulu temanmu itu?”
Reiz
tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca menatap Kai.
Kai
sendiri tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Reiz dengan tatapan yang sulit
dimengerti.
Nenek
Frizt mendekati Kai, memandangnya haru. “Oh, tentu saja… dia sudah tumbuh
sebesar ini… Oh ya, tentu saja kenapa dia begitu jenius, begitu hebat mengobati
orang-orang. Karena dia Claude yang itu, si kecil jenius itu… Iya kan, dokter
Claude?”
“Bukan.”
Jawab Kai langsung, dingin.
Seperti
baru saja tersiram air es, mendadak tubuh Reiz dan Nenek Frizt seolah membeku.
Tiupan angin di padang rumput itu mendadak begitu kencang dan terdengar seperti
menyanyikan lagu dingin yang memilukan.
“Tiba-tiba aku malas makan. Terimakasih tawarannya.”
Kata Kai datar. Dan tanpa berkata apa-apa lagi Kai berbalik dan pergi begitu saja.
Meninggalkan Reiz yang masih terpaku di tempatnya, seolah membeku. Dada Reiz
bergemuruh, pecahan kaca di matanya telah luruh. Namun mulutnya terkunci.
♠ ♠ ♠
“UAPAAA?!!”
Chaz membanting kotak tempat pembayaran yang susah-susah dibuatnya sehari
sebelum mereka tiba di Stutgart itu. “Si jerapah sialan itu menggratiskan
seluruh biaya pengobatan tanpa bilang padaku dulu?!”
Seta
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Anuu… sebenarnya tidak semuanya
gratis sih. Kai bilang mereka cuma petani, jadi kalau tidak punya uang boleh
membayar dengan hasil panen mereka atau makanan…”
“Terus,
semua pasien tadi membayar dengan hasil panen mereka, begitu?” lanjut Chaz
seraya mengetuk-ngetukkan sebelah kakinya di dekat gundukan karung berisi apel,
gandum dan bahan makanan lain di sudut ruangan klinik Kai.
Seta
mengangguk, tersenyum sambil berkeringat. “Begitulah… “
“Begitu ya… “ Chaz semakin keras mengetuk-ngetukkan
sebelah kakinya sambil bersedekap. Seta sudah hapal, sekarang ini ia harus
bersiap-siap kabur karena Chaz punya hobi yang sangat unik untuk
menghambur-hamburkan pelurunya.
“Lalu
sekarang, si jerapah sialan itu ngilang begitu saja meninggalkan ‘sumber
income’ kita mengantri seperti itu?” Chaz mengangguk ke arah kerumunan
orang yang masih berkumpul di depan trailer, mengantri untuk berobat.
“Dia
bilang mau cari angin sebentar sih… Yah, wajarlah, Chaz. Munich kan memang kota
kelahiran si Kai—setahuku sih. Jadi mungkin dia ingin melepas kerinduan
sebentar… kali ya…?“ Seta melirik ke arah jam dengan menyesal. Sepertinya ia
salah menggunakan kata ‘sebentar’ di hadapan orang yang selalu berprinsip time
is money ini.
“Oh
ya? Sebentar ya…? Rasanya dia sudah pergi sejak sebelum jam makan siang tadi.
Dan sekarang sudah hampir sore… “ Chaz sudah mengambil Gold Magnumnya
dan membuka penguncinya.
Seta
tahu, sekarang saatnya! “Wah, sorry Chaz, tiba-tiba aku ada urusan menda…”
DZING!!
DZING!!
Chaz
menembak ke arah mana Seta tadi berdiri. Tapi dia sudah tahu kalau ia pasti
luput, karena Seta sudah lebih dulu menghilang seperti setan.
♠ ♠ ♠
Kai
terus saja berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana
serta mengulum scalpel, melewati sela-sela pohon apel. Tak beberapa lama
kemudian, ia berhenti, memandangi langit, kemudian berkata pelan—dengan nada
bosan.
“Sudah
tidak ada orang, cepat keluar!”
Sepi…
tapi kemudian, dari balik salah satu pohon apel yang paling dekat dengan Kai,
muncul seorang pemuda lain. Tubuhnya terlilit rantai besar yang kelihatannya
sangat berat, namun pemuda itu tersenyum seolah tanpa beban.
“Jadi
karena ini ya, kau berpura-pura tidak mengenali gadis tadi. Karena kau tidak
ingin berkelahi di depannya kan? Kau tidak ingin melibatkan dia, karena begitu
dia tahu kau memang orang yang selama ini ditunggunya, maka bisa jadi dia akan
terlibat dalam urusan yang bisa membahayakan nyawanya. Benar begitu kan?” kata
pemuda bertopi itu. Sekali lagi ia tersenyum pada Kai.
“Kau
memang sengaja memancingku ke tempat sepi begini meskipun sebelumnya kau sudah
tahu bahwa aku mengawasimu sejak kau bertemu dengan gadis itu. Aku sudah
mempelajari seluruh datamu, pendengaran serta penglihatanmu itu sepuluh kali
lipat orang biasa kan? Juga kekuatan otot tangan serta kakimu…”
“Satu
kata saja untukmu,” potong Kai dingin. “Cerewet!” katanya seraya mengentakkan
kakinya, dan tanah di bawahnya segera bergetar keras kemudian membelah menjadi
dua!
Dengan
cepat pemuda bertopi tadi sudah meloncat menghindar seraya terus saja
tersenyum. “Hei, hei… kau tidak perlu merusak tanah orang seperti ini kan?
Jangan mentang-mentang punya kekuatan 12 ton deh, dasar monster!” katanya
sambil melepas rantai besar yang melilit tubuhnya.
“Kau
sendiri apa?” balas Kai dingin.
“Aku?
Yah, bisa dibilang aku ini saudaramu!” sambil berkata begitu pemuda itu
mencambukkan rantai besarnya ke tubuh Kai.
Rantai
itu dengan segera melilit tubuh Kai. Kai mendengus. Namun sebelum ia sempat
menggerakkan tangannya untuk melepas rantai yang melilit tubuhnya itu,
tiba-tiba rantai itu bergetar hebat dan seolah menyala!
“He
he he! Rasakan electric chain-ku ini!” kata pemuda itu seraya
mengentakkan ujung rantai yang ada di tangannya.
BLZZZZT!!!
Sesaat,
gerakan Kai terhenti. Tapi ekspresinya sama sekali tak berubah. Tak nampak
kesakitan ataupun menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tersengat listrik.
Si
pemuda bertopi kelihatan bingung. “Eh…?”
Kemudian,
dengan tenang Kai melepas rantai yang melilitnya. “Listrik ya… ? Aku sama
sekali tidak merasa tersengat tuh… Yang seperti ini tidak akan bisa
melemahkanku tahu!” dan Kai melemparkan rantai itu kembali ke arah si pemuda.
Nyaris
saja senjata itu makan tuannya. Dengan gesit pemuda itu mematikan arus listrik
rantainya sebelum ujung rantai yang dilemparkan Kai mengenai tubuhnya sendiri.
“Wah,
wah… tenyata benar gosip yang kudengar ya? Bahwa sebelum kau kabur, salah
seorang ilmuwan penghianat Gentech telah mematikan seluruh saraf nyerimu
hingga kau tidak bisa merasakan sakit lagi?” katanya seraya melemparkan rantai
itu sekali lagi.
Kali ini Kai dengan enteng menangkap rantai itu
seperti menangkap tali. “Kalau sudah tahu kekuatanku kenapa masih juga pakai
tali rapuh macam ini?” katanya seraya meremas rantai itu, dan…remuk! Rantai itu
hancur menjadi serpihan-serpihan serbuk besi.
Pemuda
itu nampak terpana sesaat. Tapi kemudian ia kembali tersenyum ramah. “Yah,
memang benar-benar sesuai data ya, vermouth K-41. Mahluk terkuat yang
pernah diciptakan GenTech. Kau adalah senjata rahasia yang disiapkan
untuk perang.
Mungkin
sudah saatnya bagiku untuk memperkenalkan diri… Kalau kau ciptaan ke-41, maka
aku ini saudara tuamu, aku paling tua dari semua ciptaan GT dari divisi K.
Ya, aku K-1. Kalau kau dipanggil dengan nama Kai, maka aku biasa dipanggil
dengan nama Ki…”
“Cerewet!” Kai tiba-tiba melaju ke arah Ki sambil
mengacungkan tinjunya. Ki berkelit dengan cepat, namun Kai tak kalah gesit. Ia
menghadang Ki dengan kakinya. Satu sentakan kecil saja—dengan kekuatan 12
ton—dan tubuh Ki pun terlempar mundur hingga beberapa meter.
Kai
berdiri tenang mengawasi musuhnya bangkit perlahan.
“Khe
he he… kalau kau pikir aku mengetahui semua data tentangmu tanpa persiapan sama
sekali, kau salah besar, K-41.” Ki bangkit dan kembali tersenyum. Ia
memegang rantainya dengan mantap.
“Tujuanku memang mengumpankan rantai ini padamu,
karena rantai ini memang baru akan berfungsi bila sudah hancur menjadi serbuk
besi… “
Tiba-tiba
Kai merasa tangannya menjadi sangat berat. Amat sangat berat hingga membuatnya
jatuh bertekuk lutut. Kedua tangannya kini telah terselimuti oleh serbuk besi
yang dengan cepat menyebar ke seluruh permukaan kulit tangannya, membentuk
semacam sarung tangan yang sangat berat.
“Huh!
Bagaimana rasanya ‘borgol besiku’? Aku menyebutnya devils chain. Rantai
ini memang khusus disiapkan untuk merantai tanganmu yang mengerikan itu. Tangan
seorang monster pembunuh yang anehnya justru digunakan untuk mengobati orang.”
“Cih!”
Kai mencoba mengangkat kedua tangannya. Namun semakin ia mencoba mengangkatnya,
rasanya serbuk besi itu semakin tebal dan berat saja. Kai benar-benar tak
berkutik.
“Aku
heran padamu,” Ki berjalan mendekati Kai. “Kau itu vermouth. Kau
diciptakan untuk menjadi senjata yang mematikan. Membunuh adalah sebuah
keahlian yang dimasukkan ke dalam kepalamu. Tapi kenapa kau malah menggunakan
tangan hebatmu itu untuk menolong orang?
Bagaimana
bisa? Padahal semua ingatanmu mestinya telah dihapus bukan? Mestinya kau tidak
ingat dengan semua ilmu kedokteran yang dulu telah kau pelajari. Gadis itu
juga… seharusnya kau tidak ingat apapun tentang dia. Tapi melihat reaksimu
tadi…”
“Aku
tidak ingat apa-apa!” potong Kai, dan tiba-tiba saja ia bertumpu pada kedua
tangannya dan menggerakkan bagian bawah tubuhnya, menendang Ki yang telah
berdiri di dekatnya.
Ki
yang tidak siap dengan serangan itu langsung terlempar sekali lagi, kali ini
kena telak. Ia bangkit perlahan seraya memegangi rusuknya, tersenyum. “Gila!
Benar-benar kekuatan gila! Seharusnya kau bisa menjadi senjata yang sangat
hebat… “
“Hentikan
semua ocehanmu tentang senjata dan lain-lain itu, aku sama sekali tidak ngerti!
“ kata Kai seraya duduk dengan kedua kaki di depan tubuhnya. Kedua
tangannya yang telah sepenuhnya tertutup sarung tangan besi tepat di tengah
sumbu tubuhnya.
“Yang
kutahu tangan ini seolah bergerak begitu saja untuk melakukan semua itu. Jadi
hentikan semua gangguanmu ini dan pergilah dari hadapanku, atau aku akan
membuatmu seperti—INI!!!” dan Kai telah mengangkat kedua kakinya, lalu
menghantamkan kedua kaki itu tepat pada kedua tangannya yang telah seluruhnya
tertutup serbuk besi seperti sarung tangan.
PRAAKK!!
Sarung tangan tebal yang sesaat tadi telah mematikan gerakan tangan Kai kini
hancur berkeping-keping. Tangan Kai terluka, penuh goresan dan berdarah, namun
ekspresi wajahnya tetap datar dan dingin.
Ki
menatapnya, ada sedikit rasa gentar pada raut wajahnya. “Ya ampun… sepertinya
aku salah langkah. Harusnya serbuk rantaiku tadi juga mengenai kakimu ya?”
“Kalau
sudah tahu sekarang cepat pergi.”
“Pastinya.
Aku tidak mau tubuhku hancur tanpa hasil sama sekali. Sudah tugasku untuk
menangkapmu dan membawamu kembali ke GT. Tapi, yah… sepertinya bukan sekarang
saatnya.” Ki kembali tersenyum, lalu berbalik seraya melilitkan sisa rantainya
ke tubuhnya.
Namun
sebelum menghilang, ia menoleh memandang Kai lagi. “Tentang gadis tadi… aku
percaya kau tidak ingat dia. Karena kalau kau ingat dia, mestinya kau ingat
juga padaku.”
Kai
mengerutkan alisnya.
“Yah,
sepertinya kau memang lupa. Aku ini Williard, teman masa kecilmu juga, dokter
Claude.”
Mata
Kai membulat, namun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Ia mengawasi Ki.
Pemuda bertopi itu tersenyum lagi.
Ki kembali meneruskan langkahnya. “Sepertinya
memang tidak ada yang kau ingat selain ilmu kedokteran yang telah kau kuasai
sejak kecil itu ya, Claude. Satu-satunya kenangan paling kuat yang bisa kau
ingat… “
Kai
terdiam. Perlahan diangkatnya kedua tangannya yang terluka.
Tidak
ada yang kau ingat selain ilmu kedokteran yang telah kau kuasai sejak kecil…
Tidak
ada… Tidak ada yang kau ingat…
Satu-satunya kenangan paling kuat yang bisa kau
ingat…
Kai
memejamkan matanya. Kedua tangannya terkepal erat.
♠ ♠ ♠
Matahari sudah semakin condong ke arah barat.
Burung-burung Finn telah kembali ke sarangnya. Angin mendesau lembut
mempermainkan rambut perak seorang pemuda jangkung yang duduk di atas sebuah
batu, diantara rerimbunan semak dan bunga-bunga liar, memeluk kedua lututnya.
Kedua tangannya masih kotor berlumuran darah.
Kai memandangi kedua tangan itu tanpa ekspresi,
entah apa yang sedang ada di dalam kepalanya. Tanpa sadar, salah satu tangannya
bergerak ke arah bunga-bunga warna ungu yang tumbuh liar di dekat batu yang
didudukinya.
“Jangan mencabuti bunga seenaknya!” celetuk sebuah
suara halus.
Kai tidak menoleh. Ia sudah tahu siapa yang datang
karena ia sudah mendengar langkah kaki gadis itu mendekatinya sejak beberapa
saat yang lalu.
“Apa kau terus menghabiskan seluruh waktumu untuk
mengawasi ‘keselamatan’ semua bunga di desa ini?” tanya Kai dengan nada datar.
“Mauku begitu.” Tiba-tiba Reiz sudah mengangkat
kedua tangan Kai dan membersihkannya dengan peralatan pengobatan sederhana yang
langsung diambilnya, begitu tahu tangan Kai terluka sejak ia melihat pemuda itu
duduk di atas batu tadi.
Kai membiarkan, dan hanya mengawasinya dengan tanpa
ekspresi.
“Mana ada dokter yang membiarkan tangannya terluka
tanpa diobati seperti ini?” kata Reiz sambil pelan-pelan melumurkan antiseptik
ke tangan Kai.
“Ini tidak sakit.” Jawab Kai datar.
“Tapi ini namanya luka. Luka bila tidak diobati akan
menjadi penyakit. Penyakit yang dibiarkan akan menyebabkan kematian.”
Kai menatap Reiz dengan tatapan aneh.
Reiz berhenti mengobati tangannya, membalas tatapan
Kai dengan lembut. “Kenapa? Merasa pernah dengar kata-kata tadi?”
Kai mengalihkan matanya, memasang tampang tanpa
ekspresi khas miliknya. “Ya. Baru saja.”
Reiz tersenyum. “Itu kata-kata yang dulu selalu kau
ucapkan pada setiap orang yang kau obati.”
“Aku tidak ingat pernah berkata semacam itu.”
Reiz masih tersenyum dan mulai membalut tangan Kai.
“Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau masih melakukannya.”
“Apa… ?”
“Mengobati orang.”
Untuk pertama kalinya Kai tertegun, tapi hanya
sebentar saja, karena dengan cepat ia telah kembali memasang tampang acuhnya.
Reiz terus membalut tangan Kai tanpa bicara lagi.
Kai menatapnya. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya tidak melepaskan raut
lembut dihadapannya itu barang sedetik pun. Selama Reiz sibuk membalut
tangannya, Kai terus memandanginya.
Desau angin mengalun lembut menyapa keduanya.
Membangkitkan sebuah kenangan yang begitu indah, seolah membalikkan waktu
hingga masa-masa yang telah lalu.
Reiz telah selesai membalut tangan Kai. Ia masih
memegangi kedua tangan itu. Kedua tangan yang tujuh tahun lalu pernah
menggandeng tangannya penuh bahagia. Itu memang tangan yang sama yang selama
ini dirindukannya. Tangan yang sama yang telah menghilang selama tujuh tahun
ini. Tangan yang sama yang telah disumpah agar digunakan untuk menolong orang
sejak usia tiga belas tahun.
Reiz tidak ingin melepaskan tangan itu. Namun bagi
Kai, balutan yang telah selesai itu berarti sudah waktunya untuk pergi. Ia
tidak mau gadis di hadapannya ini tahu bahaya apa yang kini mengejarnya,
mungkin untuk selamanya. Hingga ia menghancurkan bahaya itu dengan tangannya
sendiri.
Kai bangkit. “Makasih.” Katanya pendek.
Ia sudah berbalik dan hampir pergi ketika Reiz
tiba-tiba menarik tangannya.
“Aku bukanlah orang yang kau tunggu.” Kata Kai
dingin.
“Aku tahu.” Jawab Reiz langsung. “Tapi ini tangan
yang sama.” Lanjutnya seraya memantapkan pegangannya pada tangan Kai.
Sekali lagi Kai tertegun. Tapi ia tidak menoleh pada
Reiz ataupun menunduk. Ia terus memandang lurus ke depan. “Aku dipanggil Kai.
Aku tidak ingat apapun selain apa yang kulakukan sekarang.”
“Tidak apa-apa. Yang penting tangan ini sudah
kembali. Meskipun ingatan pemiliknya telah hilang tapi tangan ini masih
mengingatnya. Tangan ini masih melakukan sumpahnya. Sumpah yang diucapkan
pemiliknya tujuh tahun yang lalu, untuk menolong orang-orang.”
Kai terdiam. Wajahnya gelap.
“Apa kau akan kembali?” tanya Reiz tanpa memandang
sosok jangkung di depannya.
Kai masih terdiam.
Selama beberapa saat keduanya hanya terdiam, tanpa
saling memandang, bahkan tanpa berhadapan. Angin mendesau pilu seolah turut
berunjuk duka untuk keduanya. Kai masih diam.
Dengan tenang, Reiz tahu bahwa ia tidak akan mungkin
mendapatkan jawaban langsung dari pemilik tangan yang sangat dirindukannya itu.
Maka perlahan, dilepaskannya tangan itu…
Kai kembali berjalan. Riez tidak mau memandangnya.
Riez bahkan memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat pemilik tangan itu pergi,
sekali lagi.
Namun… tiba-tiba tangan itu terhampar kembali di
depannya.
Reiz membuka matanya, memandang tangan itu penuh
tanya. Dan ia segera tersenyum melihat apa yang ada di atas tangan itu.
Sekuntum bunga, berwana ungu muda dengan lima buah mahkota. Benang sarinya
menjurai-jurai dengan cantiknya. Reiz tahu bunga apa itu. Dengan senyum
bahagia, diraihnya bunga ungu itu, dan dibiarkannya pemuda itu pergi berlalu.
Reiz tahu apa arti bunga itu. Bunga itu dinamakan Azalea♠.
♠ ♠ ♠
Seorang
pemuda berambut merah berdiri sedang asyik menghitung uang di atas sofa. Seta
yang baru datang dari jalan-jalannya (sebenarnya dia tidak berniat jalan-jalan,
tapi berhubung ketika kabur dari Chaz tadi dia lupa jalan pulang—alias tersesat—jadi
dia baru bisa pulang setelah hari sore) memandang uang itu dengan penuh tanya.
“Bukankah
para pasien itu membayar dengan hasil panen mereka? Lalu uang siapa yang kau
hitung itu?”
“Dari pasien ‘dengan penyakit yang tidak bisa
diobati oleh Kai’.” Chaz menyeringai jahat.
Bila
sudah menyangkut soal ‘pemasukan dan pengeluaran’, ia memang bisa berubah
menjadi setan merah paling jahat yang tega melakukan apa saja demi
mendapatkan uang.
“Aku
mengumpulkan mereka kembali dan mengatakan bahwa layanan tambahan akan
diberikan bila mereka mau membayar. Dan whut! Mereka langsung menyerbu,
he he he… Lumayan, cukup mengganti hardware yang dirusak jerapah sialan
itu.“
“Oh begitu. Lalu kenapa nona-nona itu masih
berkerumun di sana?” tanya Seta—dengan polosnya—seraya berisyarat ke arah
serombongan wanita yang dilihatnya di luar tadi (baik tua maupun muda). Mereka
tadi sedang cekikikan di dekat kebun apel sambil terus menatap ke arah trailer
dengan pandangan tak wajar.
Chaz
kembali menyeringai jahat. “He he he… lagi nunggu layanan tambahan yang
dijanjikan. Daripada menunggu si Kai pulang, kau saja deh yang melayani mereka,
Seta. Kau ini orang baik hati yang suka menolong siapapun kan? Nah, tolonglah
nona-nona itu!”
“Ng?
Tapi apa yang bisa kulakukan… ?” tanya Seta—dengan polosnya.
“After
service.” Celetuk sebuah suara serak-datar tiba-tiba.
Chaz
dan Seta menengok ke arah asal suara bersamaan. Kai sudah berdiri di belakang
mereka dengan gaya cuek-khasnya.
“Si
jabrik ini menambahkan layanan after service pada selebaran yang ia buat
kemarin.” Kata Kai acuh.
“Oh,
kau sudah pulang ya, Kai?” Seta menyambut dengan hangat. “Lho, tanganmu
kenapa?”
“Siapa
yang loe maksud jabrik?!… Eh! Tunggu dulu!” Chaz tiba-tiba menengok ke arah
pintu, masih tertutup rapat. “Darimana kau masuk?!”
Dengan santai Kai menunjuk ke bagian paling belakang
trailer. Sebuah pintu baru telah terbentuk dengan suksesnya. “Aku nyelinap dari
belakang. Ngeri rasanya kalau harus terlihat di hadapan cewek-cewek itu…” jawab
Kai datar.
(Seta)
“Ng…”
Tiba-tiba
saja Chaz menjelma menjadi setan merah yang melengking marah.
“KAAAAAAIII!!! Kau pikir berapa harga perbaikan trailer ini—HAAH!!!”
“Potong saja dari penghasilanku.”
“Penghasilan
kepalamu! Apel sekarung begitu mana bisa buat ongkos perbaikan, jerapah
sialan!!”
“Ya
sudah. Kerja sana, kau kan bountyhunter terkenal…”
“K-KU—KUTEMBAK
KAUUU!!!
Adegan selanjutnya, tidak perlu dilanjutkan lagi
karena pasti akan memakan tempat untuk dijabarkan. Yang jelas, Seta hanya bisa
menghela napas bosan sambil berjalan ke ruang kemudi yang dihubungkan langsung
dengan bagian bak. “Kita jalan ya?” tanyanya dengan tanpa minat.
Setelah
yakin bahwa dua orang yang berada di bak trailer itu terlalu ‘sibuk’ hingga
tidak akan mungkin menjawab pertanyaannya, Seta duduk di belakang kemudi,
memasang sabuk pengaman, kemudian menghidupkan mesin. Dan perjalanan tiga
setan—yang tujuan sebenarnya hanya bisa diketahui bila membaca novelnya
(^^;)—itu pun berlanjut.
Matahari
kota Munich sudah mulai tenggelam, menyisakan semburat merah yang malu-malu di
kaki langit. Truk trailer itu melaju perlahan, dengan diikuti oleh serombongan
wanita yang berteriak-teriak marah sambil berlari.
“Hey
tampaaan!! Mana after servicenyaaaa?”
♠ ♠ ♠
Epilog (tambahan)
“Oya
Kai, kemarin sebelum menemukan trailer di tempat parkir, aku ketemu sama
seorang cewek lho… “ (Seta)
“Oh,
jadi kemarin itu kau tersesat ya? Lagu lama deh. Pantesan sore baru pulang,
untung tidak sampai berhari-hari ya… “ (Chaz)
“Diam
kau Chaz!!!” (Seta)
“Ng…
tadi kau mau cerita apa?” (Kai)
“Itu,
seorang cewek, cantik… “ (Seta)
“Uwaa!
Ternyata adek kecil kita tahu juga yang namanya cewek cantik ya?” (Chaz)
“Bicara
lagi kubunuh kau, Chaz!!” (Seta)
“Hoaaheeem…
jadi sebenarnya apa yang mau kau ceritakan?” (Kai)
“Oh
ya…” (Ini Chaz sudah dalam keadaan tertutup kain gorden plus diikat dengan
kawat baja) “cewek bermata lembut itu menitipkan ini padamu” (Seta memberikan
sekuntum bunga berwarna ungu dengan tengah warna putih-kuning pada Kai)
“Apa?
Apa? Apa yang diberikan cewek cantik itu pada si jerapah? Heh? Cuma sekuntum bunga?
Sekuntum doang?” (Chaz)
“Loe
bisa diam nggak sih, Chaz?!” (Seta)
Sementara
itu Kai tersenyum tipis memandang bunga itu.
“Uwoooh!
Lihat! Kai tersenyum!” (Seta)
“Apa?!
Si Jerapah tersenyum?! Tidak mungkin!! Coba ulangi lagi!” (Chaz)
“Itu
lebih tidak mungkin kan… “ (Seta)
“Eng…
kalian lagi mbicarain siapa?”—sambil garuk-garuk pantat. (kau tahu siapa…)
Bunga
itu, adalah bunga Forget-me-not (wasurenakusa=bhs. Jepang)♠.
SPADES, 04062007.0320 pm
♠ Azalea
adalah bunga yang berarti “Jaga dirimu untukku”, simbol kebahagiaan karena
merasa dicintai, sekaligus simbol kesabaran (penantian)
Bunga Forget-me-not, sesuai namanya adalah
simbol cinta sejati, dengan arti “Jangan lupakan aku”
(Sumber: Hana kotoba=bahasa bunga) —Ni gak usah digubris (cuma bumbu cerita), gak
penting banget gitu loh! ^^—
Uwaahhh...
BalasHapusKereeennnn!!
si Kai-nya kakkoi bangeettt.. cool lagi..
Setting-nya di Munich. Sukaaa.. tpi setting khas Jerman(?)nya ga kerasa..
Tapi ceritanya mantaaapppp...
Ada lanjutannya ga?
pliiiss ada dong. Penasaran tingkat dewaaaaaaa...
waaaaaaaaaaaah keren banget mb deasy ceritanya...
BalasHapushebat banget sih setiap buat cerita/novel selalu bikin penasarn buat cepet untk nyelesain ngebacanya...
imajinasinya tinggi banget...semangat terus berkarya mb. allohuakbar!!!!!!!!