Another Me


The Devil’s Story : Kai’s Scene

“The Sharpest Memory”

Munich, Jerman

1440 jam setelah pelarian

Sebuah truk trailer super besar terparkir manis di tengah sebuah lapangan kecil berumput hijau, diantara petak-petak kebun apel. Kebun-kebun apel di kanan-kiri lapangan kecil tersebut terlihat seperti kebun mainan di dekat trailer besar itu. Banyak orang yang berkerumun di salah satu sisi truk. Kicauan burung Finn khas pedesaan bagian selatan kota Munich ikut meramaikan gumam-gumam penuh gairah dari orang-orang itu.
Seorang pria tua bercelana baggy panjang bersepatu boots berjalan tergesa menuju kerumunan orang di sekitar truk besar tersebut. Ia bertanya dengan nada marah pada salah seorang wanita yang ikut menjejalkan diri dalam kerumunan itu.
“Ada apa ini? Kenapa ada truk besar yang sembarangan parkir di tanahku?” tanya pria itu dalam bahasa Jerman.

Wanita berambut putih itu terkikik pelan. “Ada pemuda-pemuda tampan yang sedang memberikan pengobatan gratis.” Jawabnya seraya menunjuk pada seorang pemuda berwajah ramah berambut putih, yang nampak sedang sibuk mendaftar antrian panjang di depannya.
Pemuda itu benar-benar sibuk. Berulang kali—setiap ada pasien wanita—ia harus memastikan apa keluhan mereka, karena dokter eksentrik yang sedang praktek di ruangan khusus di dalam bak trailer itu tidak akan segan mematahkan tangannya bila ia sampai—tak sengaja—memasukkan pasien wanita dengan keluhan: penyakit cinta pada pandangan pertama (setelah melihat wajah dokter yang akan memeriksanya ^^;).
“Maaf nyonya, tapi dokter Kai tidak akan bisa mengobati penyakit Anda.” Katanya pada seorang tante-tante yang memakai lipstik berlebih hingga bibirnya terlihat seperti habis tersengat lebah.
Seta—nama pemuda itu—sudah hapal gejala penyakit aneh yang hampir selalu menjangkiti setiap pasien Kai—si dokter yang sedang praktek di dalam trailer. Kai sudah memberikan catatan gejala penyakit itu supaya Seta tidak salah lagi:
1.    Bila kau tanya apa keluhannya ia pasti hanya akan terkikik-kikik tak wajar
2.    Gerakan mata tidak wajar
3.    Senyum tidak wajar
4.    Dandanan tidak wajar
5.    Bicara tidak wajar
6.    Dan seterusnya kau amati sendiri. Awas kalau sampai salah! (di akhir catatan ini Kai menempelkan sebuah foto seorang pasien dengan tangan yang hancur).

“Nyonya kau bilang?” kata tante itu seraya tersenyum tak wajar. “Panggil aku nona!”
Oke, tiga gejala langsung terlihat! Kata Seta dalam hati. “Maaf, tapi dokter Kai bilang… “
“Ah, aku tahu kau akan bilang begitu.” Kata tante itu seraya mengedipkan matanya beberapa kali (Seta ingin menjerit ngeri). “Tadi aku sudah mengamati… memangnya dokter tampan itu bisa langsung tahu kalau ada orang yang berpura-pura sakit ya?” tanyanya seraya melihat ke arah jendela di dinding trailer yang memperlihatkan sosok seorang pemuda jangkung berambut perak yang sedang sibuk memeriksa pasiennya.
“Oh ya. Dia memang bisa langsung tahu. Makanya nyo—eh, maksudku nona… kalau tidak sakit, sebaiknya... ”
“Oho ho ho ho! Kau pikir aku kemari hanya karena tertarik pada dokter itu ya?” jawab tante itu. “Aku kan memang sengaja berlama-lama di sini supaya bisa ngobrol denganmu!”
GYAAA!!!  Seta langsung mundur dengan sangat cepat ke balik trailer dan menyelinap masuk lewat pintu samping.
“He he he… taktik marketingku sukses besar kan?” sambut sebuah suara dari balik pintu samping trailer. Seorang pemuda lain, kurus, berkacamata kotak dan berambut merah menyala sedang duduk dengan malas di sofa seraya mengelap gold magnumnya.
“Chaz!” sembur Seta. “Ini semua gara-gara kamu!” katanya seraya menyambar sebuah selebaran yang tertempel di pintu dan melemparkannya ke pemuda yang dipanggil Chaz tersebut.
“He he he… iklan yang bagus kan? Dengan memanfaatkan wajah tampan kita bertiga—terutama wajahku ini—kita bisa menggaet banyak pasien untuk ‘monster’ itu! Khu hu hu hu… income nih, income, bakal untung besar deh kita!”
Wajah Seta langsung berubah serius. “Chaz, jaga ucapanmu! Jangan kau sebut kata ‘monster’ untuk Kai. Dia itu dokter jenius! Tanpa dia, iklan ‘pengobatan dokter terjenius’ yang kau sebar di jalan-jalan itu juga tidak akan berguna kan?”
“Yaah, tapi biar sejenius apapun dia itu tetap ‘monster’ kan? Lihat saja sistem komputer itu,” Chaz menunjuk ke arah layar monitor di ujung trailer yang biasanya dalam keadaan standby. Kali ini monitor itu mati sama sekali.
“Dokter jenius itu kemarin ‘berbaik hati’ menggeser CPU ke dekat airconditioner, tapi CPUnya langsung remuk begitu kena sentuhan tangannya…” Chaz mendengus kesal. “Pokoknya dia harus kerja rodi untuk mengganti seluruh kerusakan yang dia buat!”
Seta berkeringat. “Yaah, mungkin memang susah sih ya, mengendalikan kekuatan tangan sebesar 12 ton… “
“Justru karena itu!” Chaz tiba-tiba bangkit dan mengangguk ke arah kamar klinik Kai dalam bak trailer, yang hanya dibatasi sekat kayu dari tempat Chaz dan Seta sekarang. “yang aku tidak mengerti, kalau dia susah mengendalikan kekuatan tangannya, kok dia bisa dengan mudahnya melakukan praktek dokter yang harus serba hati-hati itu?”
Tiba-tiba saat itu juga terdengar suara dari balik sekat tempat klinik sementara Kai.
“GYAAAAA!!! Dokteeer! Kau merobekkan kulitkuuuu!”
“Jangan berisik! Nanti kutempelkan lagi! Hasilnya akan lebih bagus dari kulitmu yang lama.” balas sebuah suara serak-dingin dengan nada datar.
Seta dan Chaz berpandangan.
“Yah… “ Seta semakin berkeringat. “Mungkin karena… ‘yang barusan dikatakannya’ tadi… ”
Chaz memilih mengangguk daripada harus memikirkan bagaimana menempelkan kulit yang sebelumnya robek menjadi lebih bagus, atau bagaimana merangkaikan tangan yang remuk menjadi utuh kembali (sebagaimana yang sering diancamkan Kai dengan menunjukkan foto-tangan-remuk—sepertinya Kai memang memiliki koleksi foto-foto semacam ini).
“Tapi aku tidak akan pernah lupa dia itu apa…” gumam Chaz, kacamatanya berkilat tajam.
Seta pun terlihat sangat serius.
♠ ♠ ♠


Sebuah sosok bayangan menyelinap diantara pohon-pohon apel, mengamati keadaan di sekitar trailer besar yang masih ramai pengunjung itu. Sosok itu memegang sebuah selebaran. Di dalamnya terdapat foto tiga orang pemuda dengan beberapa baris tulisan besar.

Dokter Kai
Pengobatan Dokter Tampan Terjenius sepanjang abad!
Mengobati berbagai macam penyakit!
Di lapangan kebun Apel Desa Stutgart, Munich Selatan
NB: melayani ‘after service’ (khusus pasien cewek)
(ini tambahan yang dibuat sendiri oleh Chaz tanpa sepengetahuan Seta dan Kai)

“Huh! Dokter Kai?” gumam sosok itu. “Sudah berhasil lari, bukannya mengganti identitas kau malah memakai nama pemberian GenTech dan menyebar tampang di mana-mana… Dasar bodoh!“
♠ ♠ ♠


Pemuda jangkung berambut perak itu duduk sambil mencabuti rumput serta kuntum-kuntum bunga yang ada di sampingnya dengan asal. Ia mengambil scalpel[1] yang tergantung di kalungnya, mengulumnya, kemudian merebahkan tubuh jangkungnya di atas hamparan rumput, memandangi langit kota Munich yang terbentang di atasnya. Lalu ia mengangkat kedua tangannya, memandanginya lama sekali.
Tiba-tiba sepasang kaki terlihat mendekat ke arahnya. Kai melirik pemilik sepasang kaki ramping itu dari sudut matanya dengan malas. Seorang gadis, bermata biru lembut dengan rambut panjang terjulur menemani kedua sisi wajahnya. Namun wajah lembut itu terlihat marah. Gadis itu berkacak pinggang dan menatap Kai dengan galak.
“Oh, jadi kau dokter gadungan yang menipu orang-orang desa?!” semburnya.
Kai hanya mendengus tanpa mengacuhkannya. Ia sudah menurunkan kedua tangannya, menjadikannya bantal, dan kini kembali asyik memandangi langit sambil mengulum scalpelnya.
“Aduh, Reiz… jangan galak-galak begitu dong… “ ujar sebuah suara, seorang nenek-nenek terlihat berjalan mendekat ke arah mereka. “Begitu-begitu dia benar-benar hebat. Kakek Hector tadi langsung sembuh sakit pinggangnya begitu berobat padanya… “
“Nenek Frizt nggak usah bela orang ini deh! Bagaimana mungkin Nenek mau berobat ke orang asing yang nggak ada tampang dokternya sama sekali ini!” gadis itu memandangi Kai (dengan kemejanya yang berantakan—dan hanya dikancingkan pada bagian bawahnya saja—celana jeans lusuh, serta rambut yang acak-acakan) sambil mengernyit. Sama sekali jauh dari profile seorang dokter (bayangkan seorang pria berkacamata, bersisir rapi, berjas putih panjang dan selalu membawa stetoskop kemana-mana—sambil tersenyum lagi!).
“Nenek kan tidak tahu orang ini benar-benar seorang dokter atau bukan?!” sambung Reiz sengit.
“Fuuuh… “ dengus Kai seraya mengorek telinganya dengan bosan.
“Apaan fuuh itu?!” Reiz menatap Kai semakin galak.
“Sudahlah, Reiz…” Nenek Frizt sudah memegangi lengan gadis itu. “Sebenarnya kau marah padanya karena kau baru saja memergokinya mencabuti rumput dan bunga-bunga di padang rumput ini kan?”
Reiz sudah membuka mulutnya untuk menyanggah, tapi kata-kata nenek Frizt sebenarnya sangat tepat.
Nenek Frizt kini menunduk memandang Kai dengan sopan. “Maaf, ya Dokter Kai. Anak ini memang paling tidak suka ada orang yang mencabuti tumbuhan sembarangan.”
Reiz membuang muka, kesal.
“Anuuu, sampai kapan Dokter akan beristirahat? Setelah ini akan praktek lagi bukan? Bagaimana kalau istirahatnya di rumah saya saja? Kebetulan saya membuat Apfelstrudel[2] yang sangat enak. Anda mau mencicipinya?” tawar Nenek Frizt dengan sangat sopan.
Kebiasaan Kai, setiap kali mendengar apapun yang berbau ‘makanan’, dia pasti langsung bereaksi. Segera saja Kai bangkit—dengan tampang datar dan masih mengulum scalpelnya. Ia menggeliat sebentar, kemudian berdiri, dan untuk pertama kalinya memandang Reiz dan si nenek dengan sungguh-sungguh. Sesaat, mata Reiz nampak membulat begitu melihat sosok Kai yang berdiri.
“Aku mau.” Jawab Kai dengan nada datar—dan tampang datar. “Nanti kau boleh periksa gratis.”
“Ah, benarkah!” Nenek Frizt terlihat sangat senang. Ia menoleh memandang Reiz, dan saat itu juga Nenek Frizt terkejut. “Astaga, Reiz! Kau kenapa?”
Gadis bermata lembut itu, menatap Kai seperti melihat hantu. Mata biru-beningnya membulat, mulutnya ternganga, dan wajah halusnya terlihat sangat pucat. “Ti… tidak mungkin… “ bisiknya tak percaya.
Kai mengerutkan sebelah alisnya—dengan tanpa ekspresi. “Apa… ?”
“Reiz, kau kenapa?” Nenek Frizt segera mendekati Reiz dengan cemas.
“Claude… “ bisik Reiz dengan tak percaya.
“Siapa?”
Diluar dugaan, mata Kai juga ikut membulat. Ia menatap Reiz. Lama keduanya hanya saling menatap tanpa berkata-kata.
Nenek Frizt terlihat kebingungan, bergantian memandang Kai, lalu Reiz. “Ka… kalian kenapa? Apa kalian saling kenal?” Nenek Frizt memandang Kai, dan…seolah baru menyadari sesuatu, ia memandang Reiz dengan sangat cepat. “Siapa yang kau sebut tadi, Reiz? Claude? Maksudmu si kecil tuan muda Claude, dokter jenius terkecil di dunia yang dulu temanmu itu?”
Reiz tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca menatap Kai.
Kai sendiri tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Reiz dengan tatapan yang sulit dimengerti.
Nenek Frizt mendekati Kai, memandangnya haru. “Oh, tentu saja… dia sudah tumbuh sebesar ini… Oh ya, tentu saja kenapa dia begitu jenius, begitu hebat mengobati orang-orang. Karena dia Claude yang itu, si kecil jenius itu… Iya kan, dokter Claude?”
“Bukan.” Jawab Kai langsung, dingin.
Seperti baru saja tersiram air es, mendadak tubuh Reiz dan Nenek Frizt seolah membeku. Tiupan angin di padang rumput itu mendadak begitu kencang dan terdengar seperti menyanyikan lagu dingin yang memilukan.
“Tiba-tiba aku malas makan. Terimakasih tawarannya.” Kata Kai datar. Dan tanpa berkata apa-apa lagi Kai berbalik dan pergi begitu saja. Meninggalkan Reiz yang masih terpaku di tempatnya, seolah membeku. Dada Reiz bergemuruh, pecahan kaca di matanya telah luruh. Namun mulutnya terkunci.
♠ ♠ ♠


“UAPAAA?!!” Chaz membanting kotak tempat pembayaran yang susah-susah dibuatnya sehari sebelum mereka tiba di Stutgart itu. “Si jerapah sialan itu menggratiskan seluruh biaya pengobatan tanpa bilang padaku dulu?!”
Seta menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Anuu… sebenarnya tidak semuanya gratis sih. Kai bilang mereka cuma petani, jadi kalau tidak punya uang boleh membayar dengan hasil panen mereka atau makanan…”
“Terus, semua pasien tadi membayar dengan hasil panen mereka, begitu?” lanjut Chaz seraya mengetuk-ngetukkan sebelah kakinya di dekat gundukan karung berisi apel, gandum dan bahan makanan lain di sudut ruangan klinik Kai.
Seta mengangguk, tersenyum sambil berkeringat. “Begitulah… “
“Begitu ya… “ Chaz semakin keras mengetuk-ngetukkan sebelah kakinya sambil bersedekap. Seta sudah hapal, sekarang ini ia harus bersiap-siap kabur karena Chaz punya hobi yang sangat unik untuk menghambur-hamburkan pelurunya.
“Lalu sekarang, si jerapah sialan itu ngilang begitu saja meninggalkan ‘sumber income’ kita mengantri seperti itu?” Chaz mengangguk ke arah kerumunan orang yang masih berkumpul di depan trailer, mengantri untuk berobat.
“Dia bilang mau cari angin sebentar sih… Yah, wajarlah, Chaz. Munich kan memang kota kelahiran si Kai—setahuku sih. Jadi mungkin dia ingin melepas kerinduan sebentar… kali ya…?“ Seta melirik ke arah jam dengan menyesal. Sepertinya ia salah menggunakan kata ‘sebentar’ di hadapan orang yang selalu berprinsip time is money ini.
“Oh ya? Sebentar ya…? Rasanya dia sudah pergi sejak sebelum jam makan siang tadi. Dan sekarang sudah hampir sore… “ Chaz sudah mengambil Gold Magnumnya dan membuka penguncinya.
Seta tahu, sekarang saatnya! “Wah, sorry Chaz, tiba-tiba aku ada urusan menda…”
DZING!! DZING!!
Chaz menembak ke arah mana Seta tadi berdiri. Tapi dia sudah tahu kalau ia pasti luput, karena Seta sudah lebih dulu menghilang seperti setan.
♠ ♠ ♠


Kai terus saja berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana serta mengulum scalpel, melewati sela-sela pohon apel. Tak beberapa lama kemudian, ia berhenti, memandangi langit, kemudian berkata pelan—dengan nada bosan.
“Sudah tidak ada orang, cepat keluar!”
Sepi… tapi kemudian, dari balik salah satu pohon apel yang paling dekat dengan Kai, muncul seorang pemuda lain. Tubuhnya terlilit rantai besar yang kelihatannya sangat berat, namun pemuda itu tersenyum seolah tanpa beban.
“Jadi karena ini ya, kau berpura-pura tidak mengenali gadis tadi. Karena kau tidak ingin berkelahi di depannya kan? Kau tidak ingin melibatkan dia, karena begitu dia tahu kau memang orang yang selama ini ditunggunya, maka bisa jadi dia akan terlibat dalam urusan yang bisa membahayakan nyawanya. Benar begitu kan?” kata pemuda bertopi itu. Sekali lagi ia tersenyum pada Kai.
“Kau memang sengaja memancingku ke tempat sepi begini meskipun sebelumnya kau sudah tahu bahwa aku mengawasimu sejak kau bertemu dengan gadis itu. Aku sudah mempelajari seluruh datamu, pendengaran serta penglihatanmu itu sepuluh kali lipat orang biasa kan? Juga kekuatan otot tangan serta kakimu…”
“Satu kata saja untukmu,” potong Kai dingin. “Cerewet!” katanya seraya mengentakkan kakinya, dan tanah di bawahnya segera bergetar keras kemudian membelah menjadi dua!
Dengan cepat pemuda bertopi tadi sudah meloncat menghindar seraya terus saja tersenyum. “Hei, hei… kau tidak perlu merusak tanah orang seperti ini kan? Jangan mentang-mentang punya kekuatan 12 ton deh, dasar monster!” katanya sambil melepas rantai besar yang melilit tubuhnya.
“Kau sendiri apa?” balas Kai dingin.
“Aku? Yah, bisa dibilang aku ini saudaramu!” sambil berkata begitu pemuda itu mencambukkan rantai besarnya ke tubuh Kai.
Rantai itu dengan segera melilit tubuh Kai. Kai mendengus. Namun sebelum ia sempat menggerakkan tangannya untuk melepas rantai yang melilit tubuhnya itu, tiba-tiba rantai itu bergetar hebat dan seolah menyala!
“He he he! Rasakan electric chain-ku ini!” kata pemuda itu seraya mengentakkan ujung rantai yang ada di tangannya.
BLZZZZT!!!
Sesaat, gerakan Kai terhenti. Tapi ekspresinya sama sekali tak berubah. Tak nampak kesakitan ataupun menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tersengat listrik.
Si pemuda bertopi kelihatan bingung. “Eh…?”
Kemudian, dengan tenang Kai melepas rantai yang melilitnya. “Listrik ya… ? Aku sama sekali tidak merasa tersengat tuh… Yang seperti ini tidak akan bisa melemahkanku tahu!” dan Kai melemparkan rantai itu kembali ke arah si pemuda.
Nyaris saja senjata itu makan tuannya. Dengan gesit pemuda itu mematikan arus listrik rantainya sebelum ujung rantai yang dilemparkan Kai mengenai tubuhnya sendiri.
“Wah, wah… tenyata benar gosip yang kudengar ya? Bahwa sebelum kau kabur, salah seorang ilmuwan penghianat Gentech telah mematikan seluruh saraf nyerimu hingga kau tidak bisa merasakan sakit lagi?” katanya seraya melemparkan rantai itu sekali lagi.
Kali ini Kai dengan enteng menangkap rantai itu seperti menangkap tali. “Kalau sudah tahu kekuatanku kenapa masih juga pakai tali rapuh macam ini?” katanya seraya meremas rantai itu, dan…remuk! Rantai itu hancur menjadi serpihan-serpihan serbuk besi.
Pemuda itu nampak terpana sesaat. Tapi kemudian ia kembali tersenyum ramah. “Yah, memang benar-benar sesuai data ya, vermouth K-41. Mahluk terkuat yang pernah diciptakan GenTech. Kau adalah senjata rahasia yang disiapkan untuk perang.
Mungkin sudah saatnya bagiku untuk memperkenalkan diri… Kalau kau ciptaan ke-41, maka aku ini saudara tuamu, aku paling tua dari semua ciptaan GT dari divisi K. Ya, aku K-1. Kalau kau dipanggil dengan nama Kai, maka aku biasa dipanggil dengan nama Ki…”
“Cerewet!” Kai tiba-tiba melaju ke arah Ki sambil mengacungkan tinjunya. Ki berkelit dengan cepat, namun Kai tak kalah gesit. Ia menghadang Ki dengan kakinya. Satu sentakan kecil saja—dengan kekuatan 12 ton—dan tubuh Ki pun terlempar mundur hingga beberapa meter.
Kai berdiri tenang mengawasi musuhnya bangkit perlahan.
“Khe he he… kalau kau pikir aku mengetahui semua data tentangmu tanpa persiapan sama sekali, kau salah besar, K-41.” Ki bangkit dan kembali tersenyum. Ia memegang rantainya dengan mantap.
“Tujuanku memang mengumpankan rantai ini padamu, karena rantai ini memang baru akan berfungsi bila sudah hancur menjadi serbuk besi… “
Tiba-tiba Kai merasa tangannya menjadi sangat berat. Amat sangat berat hingga membuatnya jatuh bertekuk lutut. Kedua tangannya kini telah terselimuti oleh serbuk besi yang dengan cepat menyebar ke seluruh permukaan kulit tangannya, membentuk semacam sarung tangan yang sangat berat.
“Huh! Bagaimana rasanya ‘borgol besiku’? Aku menyebutnya devils chain. Rantai ini memang khusus disiapkan untuk merantai tanganmu yang mengerikan itu. Tangan seorang monster pembunuh yang anehnya justru digunakan untuk mengobati orang.”
“Cih!” Kai mencoba mengangkat kedua tangannya. Namun semakin ia mencoba mengangkatnya, rasanya serbuk besi itu semakin tebal dan berat saja. Kai benar-benar tak berkutik.
“Aku heran padamu,” Ki berjalan mendekati Kai. “Kau itu vermouth. Kau diciptakan untuk menjadi senjata yang mematikan. Membunuh adalah sebuah keahlian yang dimasukkan ke dalam kepalamu. Tapi kenapa kau malah menggunakan tangan hebatmu itu untuk menolong orang?
Bagaimana bisa? Padahal semua ingatanmu mestinya telah dihapus bukan? Mestinya kau tidak ingat dengan semua ilmu kedokteran yang dulu telah kau pelajari. Gadis itu juga… seharusnya kau tidak ingat apapun tentang dia. Tapi melihat reaksimu tadi…”
“Aku tidak ingat apa-apa!” potong Kai, dan tiba-tiba saja ia bertumpu pada kedua tangannya dan menggerakkan bagian bawah tubuhnya, menendang Ki yang telah berdiri di dekatnya.
Ki yang tidak siap dengan serangan itu langsung terlempar sekali lagi, kali ini kena telak. Ia bangkit perlahan seraya memegangi rusuknya, tersenyum. “Gila! Benar-benar kekuatan gila! Seharusnya kau bisa menjadi senjata yang sangat hebat… “
“Hentikan semua ocehanmu tentang senjata dan lain-lain itu, aku sama sekali tidak ngerti! “ kata Kai seraya duduk dengan kedua kaki di depan tubuhnya. Kedua tangannya yang telah sepenuhnya tertutup sarung tangan besi tepat di tengah sumbu tubuhnya.
“Yang kutahu tangan ini seolah bergerak begitu saja untuk melakukan semua itu. Jadi hentikan semua gangguanmu ini dan pergilah dari hadapanku, atau aku akan membuatmu seperti—INI!!!” dan Kai telah mengangkat kedua kakinya, lalu menghantamkan kedua kaki itu tepat pada kedua tangannya yang telah seluruhnya tertutup serbuk besi seperti sarung tangan.
PRAAKK!! Sarung tangan tebal yang sesaat tadi telah mematikan gerakan tangan Kai kini hancur berkeping-keping. Tangan Kai terluka, penuh goresan dan berdarah, namun ekspresi wajahnya tetap datar dan dingin.
Ki menatapnya, ada sedikit rasa gentar pada raut wajahnya. “Ya ampun… sepertinya aku salah langkah. Harusnya serbuk rantaiku tadi juga mengenai kakimu ya?”
“Kalau sudah tahu sekarang cepat pergi.”
“Pastinya. Aku tidak mau tubuhku hancur tanpa hasil sama sekali. Sudah tugasku untuk menangkapmu dan membawamu kembali ke GT. Tapi, yah… sepertinya bukan sekarang saatnya.” Ki kembali tersenyum, lalu berbalik seraya melilitkan sisa rantainya ke tubuhnya.
Namun sebelum menghilang, ia menoleh memandang Kai lagi. “Tentang gadis tadi… aku percaya kau tidak ingat dia. Karena kalau kau ingat dia, mestinya kau ingat juga padaku.”
Kai mengerutkan alisnya.
“Yah, sepertinya kau memang lupa. Aku ini Williard, teman masa kecilmu juga, dokter Claude.”
Mata Kai membulat, namun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Ia mengawasi Ki. Pemuda bertopi itu tersenyum lagi.
 Ki kembali meneruskan langkahnya. “Sepertinya memang tidak ada yang kau ingat selain ilmu kedokteran yang telah kau kuasai sejak kecil itu ya, Claude. Satu-satunya kenangan paling kuat yang bisa kau ingat… “
Kai terdiam. Perlahan diangkatnya kedua tangannya yang terluka.
Tidak ada yang kau ingat selain ilmu kedokteran yang telah kau kuasai sejak kecil…
Tidak ada… Tidak ada yang kau ingat…
Satu-satunya kenangan paling kuat yang bisa kau ingat…
Kai memejamkan matanya. Kedua tangannya terkepal erat.
♠ ♠ ♠


Matahari sudah semakin condong ke arah barat. Burung-burung Finn telah kembali ke sarangnya. Angin mendesau lembut mempermainkan rambut perak seorang pemuda jangkung yang duduk di atas sebuah batu, diantara rerimbunan semak dan bunga-bunga liar, memeluk kedua lututnya. Kedua tangannya masih kotor berlumuran darah.
Kai memandangi kedua tangan itu tanpa ekspresi, entah apa yang sedang ada di dalam kepalanya. Tanpa sadar, salah satu tangannya bergerak ke arah bunga-bunga warna ungu yang tumbuh liar di dekat batu yang didudukinya.
“Jangan mencabuti bunga seenaknya!” celetuk sebuah suara halus.
Kai tidak menoleh. Ia sudah tahu siapa yang datang karena ia sudah mendengar langkah kaki gadis itu mendekatinya sejak beberapa saat yang lalu.
“Apa kau terus menghabiskan seluruh waktumu untuk mengawasi ‘keselamatan’ semua bunga di desa ini?” tanya Kai dengan nada datar.
“Mauku begitu.” Tiba-tiba Reiz sudah mengangkat kedua tangan Kai dan membersihkannya dengan peralatan pengobatan sederhana yang langsung diambilnya, begitu tahu tangan Kai terluka sejak ia melihat pemuda itu duduk di atas batu tadi.
Kai membiarkan, dan hanya mengawasinya dengan tanpa ekspresi.
“Mana ada dokter yang membiarkan tangannya terluka tanpa diobati seperti ini?” kata Reiz sambil pelan-pelan melumurkan antiseptik ke tangan Kai.
“Ini tidak sakit.” Jawab Kai datar.
“Tapi ini namanya luka. Luka bila tidak diobati akan menjadi penyakit. Penyakit yang dibiarkan akan menyebabkan kematian.”
Kai menatap Reiz dengan tatapan aneh.
Reiz berhenti mengobati tangannya, membalas tatapan Kai dengan lembut. “Kenapa? Merasa pernah dengar kata-kata tadi?”
Kai mengalihkan matanya, memasang tampang tanpa ekspresi khas miliknya. “Ya. Baru saja.”
Reiz tersenyum. “Itu kata-kata yang dulu selalu kau ucapkan pada setiap orang yang kau obati.”
“Aku tidak ingat pernah berkata semacam itu.”
Reiz masih tersenyum dan mulai membalut tangan Kai. “Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau masih melakukannya.”
“Apa… ?”
“Mengobati orang.”
Untuk pertama kalinya Kai tertegun, tapi hanya sebentar saja, karena dengan cepat ia telah kembali memasang tampang acuhnya.
Reiz terus membalut tangan Kai tanpa bicara lagi. Kai menatapnya. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya tidak melepaskan raut lembut dihadapannya itu barang sedetik pun. Selama Reiz sibuk membalut tangannya, Kai terus memandanginya.
Desau angin mengalun lembut menyapa keduanya. Membangkitkan sebuah kenangan yang begitu indah, seolah membalikkan waktu hingga masa-masa yang telah lalu.
Reiz telah selesai membalut tangan Kai. Ia masih memegangi kedua tangan itu. Kedua tangan yang tujuh tahun lalu pernah menggandeng tangannya penuh bahagia. Itu memang tangan yang sama yang selama ini dirindukannya. Tangan yang sama yang telah menghilang selama tujuh tahun ini. Tangan yang sama yang telah disumpah agar digunakan untuk menolong orang sejak usia tiga belas tahun.
Reiz tidak ingin melepaskan tangan itu. Namun bagi Kai, balutan yang telah selesai itu berarti sudah waktunya untuk pergi. Ia tidak mau gadis di hadapannya ini tahu bahaya apa yang kini mengejarnya, mungkin untuk selamanya. Hingga ia menghancurkan bahaya itu dengan tangannya sendiri.
Kai bangkit. “Makasih.” Katanya pendek.
Ia sudah berbalik dan hampir pergi ketika Reiz tiba-tiba menarik tangannya.
“Aku bukanlah orang yang kau tunggu.” Kata Kai dingin.
“Aku tahu.” Jawab Reiz langsung. “Tapi ini tangan yang sama.” Lanjutnya seraya memantapkan pegangannya pada tangan Kai.
Sekali lagi Kai tertegun. Tapi ia tidak menoleh pada Reiz ataupun menunduk. Ia terus memandang lurus ke depan. “Aku dipanggil Kai. Aku tidak ingat apapun selain apa yang kulakukan sekarang.”
“Tidak apa-apa. Yang penting tangan ini sudah kembali. Meskipun ingatan pemiliknya telah hilang tapi tangan ini masih mengingatnya. Tangan ini masih melakukan sumpahnya. Sumpah yang diucapkan pemiliknya tujuh tahun yang lalu, untuk menolong orang-orang.”
Kai terdiam. Wajahnya gelap.
“Apa kau akan kembali?” tanya Reiz tanpa memandang sosok jangkung di depannya.
Kai masih terdiam.
Selama beberapa saat keduanya hanya terdiam, tanpa saling memandang, bahkan tanpa berhadapan. Angin mendesau pilu seolah turut berunjuk duka untuk keduanya. Kai masih diam.
Dengan tenang, Reiz tahu bahwa ia tidak akan mungkin mendapatkan jawaban langsung dari pemilik tangan yang sangat dirindukannya itu. Maka perlahan, dilepaskannya tangan itu…
Kai kembali berjalan. Riez tidak mau memandangnya. Riez bahkan memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat pemilik tangan itu pergi, sekali lagi.
Namun… tiba-tiba tangan itu terhampar kembali di depannya.
Reiz membuka matanya, memandang tangan itu penuh tanya. Dan ia segera tersenyum melihat apa yang ada di atas tangan itu. Sekuntum bunga, berwana ungu muda dengan lima buah mahkota. Benang sarinya menjurai-jurai dengan cantiknya. Reiz tahu bunga apa itu. Dengan senyum bahagia, diraihnya bunga ungu itu, dan dibiarkannya pemuda itu pergi berlalu.
Reiz tahu apa arti bunga itu. Bunga itu dinamakan Azalea.
♠ ♠ ♠


Seorang pemuda berambut merah berdiri sedang asyik menghitung uang di atas sofa. Seta yang baru datang dari jalan-jalannya (sebenarnya dia tidak berniat jalan-jalan, tapi berhubung ketika kabur dari Chaz tadi dia lupa jalan pulang—alias tersesat—jadi dia baru bisa pulang setelah hari sore) memandang uang itu dengan penuh tanya.
“Bukankah para pasien itu membayar dengan hasil panen mereka? Lalu uang siapa yang kau hitung itu?”
“Dari pasien ‘dengan penyakit yang tidak bisa diobati oleh Kai’.” Chaz menyeringai jahat.
Bila sudah menyangkut soal ‘pemasukan dan pengeluaran’, ia memang bisa berubah menjadi setan merah paling jahat yang tega melakukan apa saja demi mendapatkan uang.
“Aku mengumpulkan mereka kembali dan mengatakan bahwa layanan tambahan akan diberikan bila mereka mau membayar. Dan whut! Mereka langsung menyerbu, he he he… Lumayan, cukup mengganti hardware yang dirusak jerapah sialan itu.“
“Oh begitu. Lalu kenapa nona-nona itu masih berkerumun di sana?” tanya Seta—dengan polosnya—seraya berisyarat ke arah serombongan wanita yang dilihatnya di luar tadi (baik tua maupun muda). Mereka tadi sedang cekikikan di dekat kebun apel sambil terus menatap ke arah trailer dengan pandangan tak wajar.
Chaz kembali menyeringai jahat. “He he he… lagi nunggu layanan tambahan yang dijanjikan. Daripada menunggu si Kai pulang, kau saja deh yang melayani mereka, Seta. Kau ini orang baik hati yang suka menolong siapapun kan? Nah, tolonglah nona-nona itu!”
“Ng? Tapi apa yang bisa kulakukan… ?” tanya Seta—dengan polosnya.
After service.” Celetuk sebuah suara serak-datar tiba-tiba.
Chaz dan Seta menengok ke arah asal suara bersamaan. Kai sudah berdiri di belakang mereka dengan gaya cuek-khasnya.
“Si jabrik ini menambahkan layanan after service pada selebaran yang ia buat kemarin.” Kata Kai acuh.
“Oh, kau sudah pulang ya, Kai?” Seta menyambut dengan hangat. “Lho, tanganmu kenapa?”
“Siapa yang loe maksud jabrik?!… Eh! Tunggu dulu!” Chaz tiba-tiba menengok ke arah pintu, masih tertutup rapat. “Darimana kau masuk?!”
Dengan santai Kai menunjuk ke bagian paling belakang trailer. Sebuah pintu baru telah terbentuk dengan suksesnya. “Aku nyelinap dari belakang. Ngeri rasanya kalau harus terlihat di hadapan cewek-cewek itu…” jawab Kai datar.
(Seta) “Ng…”
Tiba-tiba saja Chaz menjelma menjadi setan merah yang melengking marah. “KAAAAAAIII!!! Kau pikir berapa harga perbaikan trailer ini—HAAH!!!”
“Potong saja dari penghasilanku.”
“Penghasilan kepalamu! Apel sekarung begitu mana bisa buat ongkos perbaikan, jerapah sialan!!”
“Ya sudah. Kerja sana, kau kan bountyhunter terkenal…”
“K-KU—KUTEMBAK KAUUU!!!
Adegan selanjutnya, tidak perlu dilanjutkan lagi karena pasti akan memakan tempat untuk dijabarkan. Yang jelas, Seta hanya bisa menghela napas bosan sambil berjalan ke ruang kemudi yang dihubungkan langsung dengan bagian bak. “Kita jalan ya?” tanyanya dengan tanpa minat.
Setelah yakin bahwa dua orang yang berada di bak trailer itu terlalu ‘sibuk’ hingga tidak akan mungkin menjawab pertanyaannya, Seta duduk di belakang kemudi, memasang sabuk pengaman, kemudian menghidupkan mesin. Dan perjalanan tiga setan—yang tujuan sebenarnya hanya bisa diketahui bila membaca novelnya (^^;)—itu pun berlanjut.
Matahari kota Munich sudah mulai tenggelam, menyisakan semburat merah yang malu-malu di kaki langit. Truk trailer itu melaju perlahan, dengan diikuti oleh serombongan wanita yang berteriak-teriak marah sambil berlari.
“Hey tampaaan!! Mana after servicenyaaaa?”
♠ ♠ ♠


Epilog (tambahan)

“Oya Kai, kemarin sebelum menemukan trailer di tempat parkir, aku ketemu sama seorang cewek lho… “ (Seta)
“Oh, jadi kemarin itu kau tersesat ya? Lagu lama deh. Pantesan sore baru pulang, untung tidak sampai berhari-hari ya… “ (Chaz)
“Diam kau Chaz!!!” (Seta)
“Ng… tadi kau mau cerita apa?” (Kai)
“Itu, seorang cewek, cantik… “ (Seta)
“Uwaa! Ternyata adek kecil kita tahu juga yang namanya cewek cantik ya?” (Chaz)
“Bicara lagi kubunuh kau, Chaz!!” (Seta)
“Hoaaheeem… jadi sebenarnya apa yang mau kau ceritakan?” (Kai)
“Oh ya…” (Ini Chaz sudah dalam keadaan tertutup kain gorden plus diikat dengan kawat baja) “cewek bermata lembut itu menitipkan ini padamu” (Seta memberikan sekuntum bunga berwarna ungu dengan tengah warna putih-kuning pada Kai)
“Apa? Apa? Apa yang diberikan cewek cantik itu pada si jerapah? Heh? Cuma sekuntum bunga? Sekuntum doang?” (Chaz)
“Loe bisa diam nggak sih, Chaz?!” (Seta)
Sementara itu Kai tersenyum tipis memandang bunga itu.
“Uwoooh! Lihat! Kai tersenyum!” (Seta)
“Apa?! Si Jerapah tersenyum?! Tidak mungkin!! Coba ulangi lagi!” (Chaz)
“Itu lebih tidak mungkin kan… “ (Seta)
“Eng… kalian lagi mbicarain siapa?”—sambil garuk-garuk pantat. (kau tahu siapa…)

Bunga itu, adalah bunga Forget-me-not (wasurenakusa=bhs. Jepang).




 SPADES, 04062007.0320 pm






Azalea adalah bunga yang berarti “Jaga dirimu untukku”, simbol kebahagiaan karena merasa dicintai, sekaligus simbol kesabaran (penantian)
    Bunga Forget-me-not, sesuai namanya adalah simbol cinta sejati, dengan arti “Jangan lupakan aku”
  (Sumber: Hana kotoba=bahasa bunga) —Ni gak usah digubris (cuma bumbu cerita), gak penting banget gitu loh! ^^


[1] Pisau bedah (pisaunya saja, bukan dengan gagangnya—bentuknya seperti silet)
[2] Kue apel khas Jerman

2 komentar:

  1. Uwaahhh...
    Kereeennnn!!
    si Kai-nya kakkoi bangeettt.. cool lagi..

    Setting-nya di Munich. Sukaaa.. tpi setting khas Jerman(?)nya ga kerasa..
    Tapi ceritanya mantaaapppp...

    Ada lanjutannya ga?
    pliiiss ada dong. Penasaran tingkat dewaaaaaaa...

    BalasHapus
  2. waaaaaaaaaaaah keren banget mb deasy ceritanya...

    hebat banget sih setiap buat cerita/novel selalu bikin penasarn buat cepet untk nyelesain ngebacanya...

    imajinasinya tinggi banget...semangat terus berkarya mb. allohuakbar!!!!!!!!

    BalasHapus