Serial Lima
Sekamar
Apa yang akan
terjadi menurutmu jika ada lima
cowok yang sama-sama maniak buku fiksi dan tinggal satu atap, bahkan tidur
sekamar! Inilah dia kisah lima
cowok yang nggak bisa dibilang akur dan lebih mantap dibilang ancur bersama
berbagai ‘petualangan fiksi’ mereka. Entah bagaimana, setiap kali selesai satu
perkara selalu muncul perkara yang lainnya, dan semuanya selalu saja mirip—atau
dipaksa mirip—dengan karya-karya fiksi ternama. Sebut saja serial Lima
Sekawan karya Enid Blyton, Lord of the Ring karya J.R.R. Tolkien, Da
Vinci Code karya Dan Brown, sampai Harry Potternya J.K. Rowling
juga!
#Chapter 1: Lima Sekamar, Bukan Lima Sekawan!
“Gusti nggak
ketemu!” ujar Excell dengan muram. Rambut cepaknya tampak basah habis
kehujanan. Guntur
menggelegar di luar, menampakkan sekilat lampu raksasa yang seolah sedang
menerangi langit yang gelap untuk sementara.
“Jadi, uang kost
hilang bersamaan dengan hilangnya Gusti? Apa jangan-jangan yang ngambil emang
...?” tanya Rizky.
“Hush!” Anjas
menaikkan kacamatanya. “Jangan bicara sembarangan. Kita nggak tahu siapa yang
ngambil uang kost. Yang penting sekarang kita cari Gusti, uang kost urusan nanti.
Aku akan lapor polisi. Yang lainnya, cari lagi ke sekitar sini.”
“Cari ke kampus
kalau perlu.” Sahut Bayu yang bersuara lantang. “Yang udah nemu duluan,
langsung diikat saja, bawa pulang.”
“Kenapa nggak
kita tunggu aja, sih? Nanti juga pulang sendiri ....” gumam Rizky.
Lho, lho, lho
... emang sebenarnya Gusti ini makhluk apaan, sih? Trus, trus … sebenarnya
mereka sedang cari apa?
Sebelumnya …
kita undur diri dulu yuk, sampai jumpa lagi kapan-kapan—eh, kok malah jadi
pamitan gini. Maksudnya, kita undurkan dulu nih cerita sampai beberapa waktu
yang lalu ….
Alkisah ….
Dua hari sebelumnya
“Spadaaaa”
teriak sebuah suara cempreng di depan pintu kayu besar berukir itu. Sebuah
gantungan besi yang melengkung pada bagian tengah pintu. Dhuok-dhuok-dhuok! Bunyinya
benar-benar mengguncang bin menggemparkan si pintu. “Assalamu’alaikuuuum!”
teriak si pemilik suara lagi.
Suara sandal
diseret terdengar dari dalam, disusul dengan bunyi ceklek keras yang menandakan
pintu kayu besar tersebut terbuka. Seraut wajah muram dengan bibir yang
melengkung ke bawah muncul. Rambutnya cepak, tubuhnya jangkung tegap. Ia
mengawasi sang tamu yang asyik cengar-cengir dengan tatapan dingin. “Cari
siapa?” ujarnya serak.
“Uwaa! Masnya
seram banget!” si tamu yang memakai kaos bergambar spiderman warna merah-biru
itu pura-pura terlonjak kaget. “He he he, anu Mas, cari kost yang judulnya
‘Pondok Kirrin’. Beneran sini bukan, yak?”
“Emang buku pake
judul!” sembur si wajah muram. “Yang ada juga ‘Pondok Karim’. Iya di sini
tempatnya. Emang kenapa? Gue nggak ngerasa pesen ondel-ondel dimari!”
“Hweh!! Jahat
banget ngatain tamu ondel-ondel!” si tamu yang rambutnya mencuat ke mana-mana itu
langsung memerhatikan dirinya. Nggak ada tampang ondel-ondelnya sama sekali
kok! “Ane penghuni baru kost ini, lhoh! Nggak dipersilakan masuk, nih?!!”
ujarnya dengan keceriaan yang luar biasa.
Si muka muram
memerhatikannya dari ujung kepala sampai jempol kaki yang pakai kaus kaki
dengan jari warna-warni, norak sekali!! “Serius lo?” tanyanya, seolah
mempertanyakan kebenaran teori bumi itu segitiga.
“Ya iyyaa laaaah!!”
si tamu malah makin nyengir luar biasa.
Si muka muram
mengerutkan dahinya, menggumam pelan, “Tidak mungkin ....”
“Kenalkan,
namaku Rizky. Panggil aja Kiki, yaaa!” ia menyelonong masuk. “Terima kasih atas
sambutannya. Aku dataaaaang!!” sebuah tas ransel besar dan sebuah koper beroda
diseretnya masuk dengan sangat ribut. Dalam satu gerakan saja, Rizky sudah
membuat suara seram yang membangunkan seisi pondok dengan suara ‘PRAAANG!!!’
yang menandakan sebuah guci besar tempat payung di samping pintu pecah.
Seraut wajah
berkacamata melongok dari sebuah sekat anyaman bambu di tengah ruangan yang
berisi beberapa komputer itu. “Ada
apa, Ex?” tanyanya, lebih kepada si muka muram.
“Penghuni baru.”
Celetuk Ex alias Excell, yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan Word,
Corel, Adobe, ataupun program komputer lainnya itu.
Si kacamata
mengeluarkan seluruh tubuhnya. Jangkung dan bertubuh sedang, ia langsung
tersenyum ramah pada Rizky yang susah payah bangkit—setelah beberapa kali,
entah bagaimana, terjatuh kembali dan tertimbun ransel gembungnya. “Hoo, jadi
kamu Rizky yang dari Jakarta
itu, ya? Apa kabar?” ia bergegas maju dan mengulurkan tangan pada Rizky.
Rizky kembali
nyengir ceria. “Iya. Maaf ya, jambangannya ....” ia mengerling pada vas besar
yang pecah amburadul dengan merananya di lantai. Excell si muka muram
memandangnya dengan tatapan yang sangat menyedihkan.
“Oh, bukan
masalah. Cuman tempat payung kok. Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai?
Aku Anjas.” Pemuda berkacamata itu menjabat tangan Rizky dengan begitu hangat.
“Oh, Mas Anjas
yang nerima telpon itu, yak? Wuaah, seneng banget deh bisa ketemu. Suaranya aja
kedengar baik banget!” Rizky mengguncangkan tangan Anjas dengan penuh semangat,
sampai-sampai si empunya tangan panic, takut bakal dijadiin milk shake
sama Kiki.
Excell kembali
melengkungkan bibirnya ke bawah sambil berjongkok dan mulai membersihkan
pecahan vas. “Pengacau baru!” gumamnya.
“Eh?” Rizky
menoleh dengan sangat cepat. “Apa katamu?!”
“Ah jangan
dipikirkan.” Sergah Anjas cepat. “Itu Excell, dia memang begitu.” Tersenyum
ramah. “Nah, kalau begitu, selamat datang di Pondok Karim ya!”
Rizky kembali
nyengir. “Wah, padahal kusangka pondok Kirrin, lho. Kan
jadi mirip nama pondoknya Georgina dalam Lima
Sekawan karangan Enid Blyton itu! Pondok Kirrin, pondok Karim! Ah, mirip
bukan? Letaknya di Pulau Kirrin, kalau kita di mana nih? Oya, di mana kita, ya?
Aduh sampai lupa! Oya, di Solo. Lalu, apakah di sini ada Julian, Dick, Anne, si
macho George dan Timmy?” Rizky berbicara dengan semangat sekali sampai Anjas
terpaksa mengerutkan dahinya untuk mencerna semua kata-katanya.
“Hahaha, kamu
lucu sekali, Rizky. Wah, sepertinya tambah satu lagi ya, penggemar Enid Blyton
di sini? Kebetulan, aku juga suka pengarang asal Inggris itu. Tapi sudah lama
sekali nggak baca bukunya.” Kata Anjas, membantu Rizky mengangkat koper
berodanya masuk melewati sekat yang membatasi ruang berisi komputer itu dengan
ruang lain yang lebih luas, berkarpet hijau tua dengan sebuah monitor komputer
limabelas inch yang tampaknya dijadikan televisi. Di sebelah ruangan berkarpet
itu terdapat sebuah halaman terbuka dan berumput, tampaknya berfungsi sebagai
tempat jemuran.
Anjas mengajak
Rizky ke arah pintu di dekat monitor. “Ini kamar tidurnya. Kamu sudah
diberitahu, kan,
sewaktu mendaftar kemarin? Bahwa tempat kost ini hanya memiliki satu kamar
saja?” Anjas bertanya.
“Iya, Mas. Tapi
beneran pakai futon kan?
Yang bikin saya tertarik karena katanya kost ini menggunakan futon! Iya kan, iya kan?”
Futon ialah sebuah tempat tidur khas Jepang yang diletakkan di lantai,
satu rangkaian dengan selimutnya. Biasanya kalau habis pada tidur tuh futon
digulung dan dimasukkin lemari. Tapi … entah ya, bagaimana nasib si futon
produk dalam negeri itu di pondok khusus cowok ini ….
“Yap!” Anjas menaikkan kacamatanya. “Semua yang mau
tinggal di sini memang karena tertarik dengan futonnya.” Anjas membuka pintu
kamar itu, dan tampaklah sebuah ruangan besar yang beralaskan tatami dengan
empat buah futon yang digulung rapi di pinggir (woo, ternyata rapi, bo’), dan
sebuah yang sedang ditiduri oleh pemuda berambut berantakan yang sedang
mendengarkan MP4. Selebihnya, ada meja persegi kecil-kecil yang ditata
berhadapan langsung dengan futon bila digelar.
“Uwaaaah!” Rizky
langsung melonjak senang. “Bahkan sekalian tataminya juga! Benar-benar Jepang
bangeeet!!”
Pondok Karim adalah
sebuah tempat kost khusus cowok yang mana semua penghuninya cowok semua
(secara, jelas banget namanya pondok khusus cowok gitu lokh!). Penghuninya macam-macam.
Semuanya anak kuliahan. Berdasarkan pengakuan dari para penghuninya, emang ini
kost Japan-minded banget gitu, deh. Biar dikata makanan sehari-hari
mereka nggak ada hubungannya sama Jepang sama sekali, toh mereka ngotot bahwa
kesan Japan-minded-nya nggak hilang karena mereka sama-sama makan ikan.
Bedanya, kalau di Jepang ono menunya sushi atau sashimi, yang di Solo
sini simple saja: nasi banding, alias bahasa kerennya kalau di Solo adalah sega
kuching! Ingat, kucingnya pakai H lho ya, biar kesan metropolis bin nggak
kampungannya ada, halah!
(bersambung .....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar